MESIOTDA Media Interaksi Otonomi Daerah
  1. MESIOTDA
  2. BEST PRACTICE

Yuk tengok pendidikan anak-anak pesisir di Bontang

"Setelah dibantu Pemkot menerangkan pentingnya pendidikan, justru orang tua di sini mendorong anaknya melanjutkan ke tingkat SMP,”

©2017 Merdeka.com Editor : Anton Sudibyo | Jum'at, 07 April 2017 08:30

Merdeka.com, Mesiotda - Laju dua speedboat yang beriringan memecah gelombang laut yang cukup tinggi. Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 20 menit, Hatta, Kasubbag Tata Pemerintahan dan Kerjasama Daerah Kota Bontang yang menemani rombongan mengisyaratkan agar perahu berhenti. “Kita sudah sampai,” ujarnya.

Mesin pun dimatikan, lalu perahu ditambatkan. Dari perahu itu, terlihat sebuah gapura bertuliskan ”Selamat Datang di Pulau Selangan” dan hamparan rumput laut yang sedang dikeringkan. Dermaga ini merupakan ujung dari perkampungan nelayan yang terpisah dari Pulau Selangan.

Mereka membangun puluhan rumah di atas air, lengkap dengan sarana ibadah dan juga fasilitas sekolah seperti Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar Negeri 015 Bontang Selatan. Berjalan 50 meter menyusuri jembatan kayu dermaga, sampailah di SDN 015.

Seperti halnya rumah-rumah yang berada di perkampungan atas air ini, sekolah SDN 015 terbuat dari kayu. Hanya saja sebagai sekolah, bangunannya tentunya lebih luas dan memanjang. Bangunan sekolah ini juga cukup bagus. Mungkin karena ada bantuan dari Badak LNG, salah satu korporasi gas alam multinasional yang memang ada di Bontang. Perkampungan atas laut ini memang binaan perusahaan tersebut. Saat di dermaga, terlihat beberapa plang bertuliskan binaan Badak LNG.

Sesampainya di sekolah, di dalam ruangan berukuran 3x5 meter, terlihat seorang anak laki-laki yang sedang duduk menulis. ”Itu Ahmad Rizal. Anak Kelas V,” kata Fitriharyanti, Guru Kelas VI sekolah itu.

Menurut Fitri, di sekolah ini, untuk kelas V dan III masing-masing hanya mempunyai 1 orang murid dan jumlah keseluruhan murid hanya 10 orang. ”Jadi bukan tidak pada mau sekolah, tapi memang usia anak sekolahnya tidak ada. Kelas 1 saja tidak ada muridnya,” kata Fitri lagi.

Saat ditanyakan murid-murid kelas VI, Fitri mengatakan mereka sedang belajar di SDN 013 Tanjung Laut yang berada di Kota Bontang. ”Anak-anak kelas VI 3 orang mengikuti program Boarding Community,” ujarnya.

Fitri sendiri sering bolak-balik ke Kota Bontang. Selain untuk meninjau murid-muridnya yang sedang mengikuti program tersebut, ia juga berdomisili di sana. Fitri mengatakan sangat terbantu dengan adanya program Boarding Community. ”Di sana anak-anak belajar dengan guru-guru yang berkualitas juga sistem pengajarannya fokus. Selain itu sehabis sekolah di asrama mereka ada bimbingan belajar,” terangnya.

Hal senada juga dikatakan Mardia, guru Kelas VI SDN 016 di Pulau Tihi-Tihi. Menurutnya, di hari pertama murid-murid kelas VI belajar di kota, guru akan ikut mendampingi. Setelah itu secara berkala guru akan bergantian untuk menengok murid-muridnya. ”Di sana mereka belajar bersosialisasi. Semangat belajarnya juga tumbuh, karena melihat teman-teman yang lain belajar. Alhamdulillah mereka semua bisa menyesuaikan diri,” kata guru honor yang masih menempuh studi di Universitas Terbuka ini.

Pulau Tihi-Tihi berada tak jauh dari Pulau Selangan. Dari Selangan, masih harus menaiki kapal klotokan atau biasa disebut ketinting untuk menuju Tihi-Tihi dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Kondisi perairan yang dangkal tidak memungkinkan untuk dilalui speedboat.

Seperti halnya perkampungan atas air di Pulau Selangan, di Tihi-tihi, perkampungan ini terpisah dari daratan. Mereka membangun permukiman di atas air. ”Bisa dibilang, mereka ini penjaga hutan mangrove yang ada di pulau. Itu kan termasuk kawasan lindung, kalau ada yang merusak bisa kena hukuman,” kata M. Bahri, Asisten Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Pemerintahan Kota Bontang.

Baik di Pulau Tihi-Tihi maupun Selangan, hamparan hutan bakau memenuhi kedua pulau itu. Selain dipenuhi hutan bakau sehingga sulit untuk dihuni, seperti tradisi kampung halaman dibawa oleh para nelayan di kedua permukiman ini.

”Rata-rata di perkampungan nelayan ini orang-orang dari Sulawesi, dari Bugis, Mamuju, Makassar dan Bajo. Untungnya, guru-guru di tempat saya juga, hanya Ibu Mardia saja yang dari Sumatera Utara,” kata Nurbia, Kepala Sekolah SDN 016 Tihi-Tihi.

Dulu, kata Nurbia, ia harus sering berkomunikasi dengan orang tua murid yang melarang anaknya sekolah. ”Biasa, dulu harus membantu melaut. Sekarang sudah tidak lagi. Setelah dibantu Pemkot menerangkan pentingnya pendidikan, justru orang tua di sini mendorong anaknya melanjutkan ke tingkat SMP,” terangnya. 

(AS)
  1. Inspirasi
  2. Pendidikan
KOMENTAR ANDA