MESIOTDA Media Interaksi Otonomi Daerah
  1. MESIOTDA
  2. BEST PRACTICE

Tengok sistem Bedah Kampung a la Mojokerto ini yuk

"Pada 2015, tujuh buah kampung berhasil direvitalisasi dan dibebaskan dari kekumuhan."

©2017 Merdeka.com Editor : Anton Sudibyo | Rabu, 22 Februari 2017 15:15

Merdeka.com, Mesiotda - Pemerintah Kota Mojokerto menginisiasi Program Bedah Kampung dan Program Swakelola RW untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di masyarakat.

Walikota Mojokerto H. Mas’ud Yunus, menjelaskan bahwa program Bedah Kampung tersebut memiliki sejumlah tujuan. Pertama, tentu saja untuk memperbaiki lingkungan agar tak ada lagi kekumuhan di wilayah Kota Mojokerto. Ke dua, untuk menyerap tenaga kerja mengingat pada saat program itu diluncurkan, cukup banyak angkatan kerja di Kota Mojokerto yang menganggur. Ke tiga, untuk kembali menghidupkan semangat gotong royong di kalangan warga.

"Kenyataannya, Program Bedah Kampung itu memang benar-benar telah berhasil mengubah kondisi. Misal di Desa Trenggilis, sebelum menjadi sasaran Program Bedah Kampung, Trenggilis termasuk wilayah kumuh. Jalan-jalan desa becek saat hujan. Bahkan, karena tak ada saluran sanitasi, genangan-genangan kerap muncul saat hujan deras datang. Jalanan pun gelap gulita pada malam hari. Sekarang menjadi jauh lebih baik,” kata dia.

Kondisi jalan sekarang sudah tak licin karena permukaan jalan sudah dikeraskan dengan paving blok. Tak hanya jalan di dalam kampung, tapi juga jalan menuju kawasan persawahan, tempat dia dan para tetangganya bekerja.

Mas’ud Yunus juga mengakui bahwa perubahan yang ditimbulkan oleh Program Bedah Rumah ini tak hanya berbentuk hasil fisik. Program Bedah Kampung juga berhasil meneguhkan kembali budaya rukun masyarakat Kota Mojokerto.

”Dengan program ini, masyarakat secara bersama-sama bergotong royong membangun lingkungannya,” ujarnya.

Mas’ud menjelaskan, Program Bedah Kampung ini sepenuhnya dibiayai dengan APBD Kota Mojokerto. Sebagai daerah yang masuk kategori perkotaan, wilayah-wilayah di Kota Mojokerto tak berhak atas kucuran Bantuan Keuangan (BK) Desa, Alokasi Dana Desa (ADD), maupun Dana Desa (DD).

Pada 2016, APBD Kota Mojokerto menganggarkan dana Rp 7 miliar untuk membiayai Program Bedah Kampung ini. Dana Rp 7 miliar itu kemudian dikucurkan ke 7 kelurahan yang menjadi sasaran.

”Besaran anggaran untuk pengadaan bahan bangunan di tiap kelurahan bervariasi, tergantung proyek fisik yang akan dikerjakan,” kata Mas’ud.

Jenis pekerjaannya pun beda-beda pula sesuai usulan masyarakat. Ada pembangunan gapura, pemasangan saluran air, pemasangan paving block, membedah rumah, pembenahan pagar dan taman, dan sebagainya.

Mas’ud menambahkan, dana untuk Program Bedah Rumah ini dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja. Kenapa? ”Karena salah satu tujuan program ini adalah untuk menyerap tenaga kerja yang menganggur,” ujar Mas’ud.

Memang, Program Bedah Kampung ini tak hanya bertujuan untuk mengubah perkampungan kumuh menjadi cantik. Program ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menggerakkan ekonomi masyarakat lewat kegiatan padat karya.

Lantaran itu, pengerjaan pembangunan fisik di 7 kelurahan tersebut tidak diserahkan ke kontraktor. Disnakertrans Kota Mojokerto sebagai pengguna anggaran, memperkerjakan warga setempat sebagai tukang bangunan, kuli bangunan, dan mandor.

”Yang bekerja harus warga kelurahan masing-masing dan dibayar sesuai kerjanya. Jadi, program ini sekaligus mengurangi pengangguran,” terang walikota yang juga merupakan pengasuh salah satu pondok pesantren di Mojokerto ini.


Khoirul Anam, pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Blooto mengatakan, sebelum menjadi sasaran Program Bedah Kampung, warga Blooto sangat sering membuang hajat di sungai atau areal persawahan.

”Itu sudah jadi kebiasaan mereka. Nah, akhirnya kami pelopori untuk membangun WC umum untuk mengajak masyarakat agar terbiasa hidup bersih dan tidak mencemari lingkungan,” ujar Anam.

Anam mengamini pernyataan Sang Walikota, bahwa semua pekerjaan dalam Program Bedah Kampung ini dikerjakan oleh warga setempat. ”Kecuali untuk pekerjaan tertentu yang memerlukan keahlian khusus. Itu pun jumlahnya dibatasi,” kata dia.

Bambang, warga Trenggilis menjelaskan, Program Bedah Kampung di Trenggilis itu memakan waktu 40 hari dan dikerjakan oleh sekitar 103 orang warga lokal. Orang-orang yang ikut bekerja dalam proyek ini juga bisa memperbaiki kondisi rumahnya sendiri dan tetap mendapatkan gaji. ”Ada yang mengganti dinding rumah yang semula triplek menjadi tembok,” ujar Anam.

Program Bedah Kampung di kota yang terkenal dengan sajian onde-ondenya ini sejatinya telah berjalan sejak tahun 2015 silam. Menurut Walikota Mas’ud, Pemkot Mojokerto memang tak mungkin melakukan bedah kampung secara berbarengan di wilayahnya lantaran terbatasnya anggaran. Pada 2015, tujuh buah kampung berhasil direvitalisasi dan dibebaskan dari kekumuhan. Anggaran yang diberikan kala itu adalah Rp 1,92 miliar untuk pengadaan material bangunan serta Rp 1,178 miliar untuk pengadaan material khusus, elektrikal, dan tanaman hias.

Wali Kota Mas’ud Yunus juga mengatakan, tujuan dari Pemerintah Kota menggelar program bedah kampung ini untuk menitikberatkan pembangunan berpusat pada rakyat (people center development). ”Mereka yang tahu apa kebutuhan mereka. Jadi ini sifatnya bukanlah top down, bukan direncanakan dari atas dan diterapkan di masyarakat. Kami hanya sebagai fasilitator dan penyedia pendanaan,” terangnya.

Selain itu, titik sentral program ini untuk membiasakan warga Mojokerto sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kebiasaan hidup sehat dan bersih serta menjaga kerukunan masyarakat. Targetnya, tidak akan ada lagi kesan kampung sempit dan kumuh seperti yang selama ini melekat. Dengan begitu, orang yang datang ke Mojokerto akan menyimpan kesan mendalam mengenai keasrian dan kebersihan sudut-sudut Kota Mojokerto. ”Itu akan menjadi kebanggan bagi kami sebagai warga Mojokerto,” ujar Mas’ud.

Terlebih lagi, kata Mas’ud, Kota Mojokerto tidak mempunyai SDA, melainkan bertumpu pada SDM. ”Tetangga kami, Kabupaten Mojokerto sudah memantapkan visi menjadi daerah tujuan wisata dengan situs Majapahit yang ada di wilayahnya. Nah, kami berharap, para turis itu bisa memanfaatkan akomodasi yang ada Kota Mojokerto,” katanya lagi.

Tiga tahun menggelar Program Bedah Kampung, Pemerintah Kota Mojokerto mendapat kritikan dari DPRD Kota Mojokerto. Menurut pihak DPRD, peningkatan kesejahteraan ataupun perekonomian masyarakat lewat program ini terlalu lamban. DPRD meminta agar Pemerintah Kota Mojokerto mempercepat program akselerasi pembangunan di wilayah perkampungan.

”Mereka bilang, jika masih seperti ini actionnya, perkembangannya akan sangat lambat,” kata Mas’ud.

Menanggapi kritik dari DPRD itu, mulai tahun ini 2017, Pemkot Mojokerto menjalankan program ini dengan model swakelola. Dalam Program Bedah Rumah, penentuan titik lokasi bedah berdasarkan kriteria padat penduduk, banyak penganggur dan setengah penganggur, kantong kemiskinan, kantong TKI dan daerah yang memiliki potensi sumber daya yang belum terkelola secara optimal. ”Untuk mencari daerah dengan kriteria seperti itu memang sulit. Setahun paling banyak hanya dapat lima titik,” katanya.

Nah, untuk Program Swakelola yang menggantikan Program Bedah Kampung ini, Pemerintah Kota Mojokerto menganggarkan dana sekitar Rp 7,5 miliar, dengan rincian setiap RW mendapatkan kucuran dana Rp 50 juta. Dana tersebut akan diberikan kepada 153 RW dari total 180 RW yang ada di Mojokerto.

Sementara 27 RW yang sudah pernah masuk dalam Program Bedah Kampung tak lagi disertakan dalam Program Swakelola. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Kota Mojokerto Hariyanto, Program Swakelola ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan secara merata karena programnya dilaksanakan di tingkat RW dan koordinasinya dilaksanakan oleh Kecamatan,” katanya.

Mekanismenya, setiap RW mengadakan pertemuan untuk menginvetarisir kebutuhannya. Setelah itu, pengurus RW mengajukan proposal kepada Kecamatan untuk diverifikasi oleh tim monitoring evaluasi (monev) yang dikepalai Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko). Tim tersebut merupakan gabungan dari tiap ahli yang berasal dari Dinas PU, Dinas Lingkungan Hidup, dan pihak-pihak terkait.

”Setelah lolos verifikasi, diserahkan kepada LPM. Lantas, LPM membentuk tim yang disahkan kelurahan. LPM ini yang nantinya bertanggung jawab soal pelaporan hasil dari penggunaan dana untuk pembangunan di tiap RW kepada tim monev,” kata Mas’ud.

Wali Kota Mas’ud juga menekankan, salah satu hal penting dari program ini adalah keberlanjutan. Untuk itu pihaknya sembari mengucurkan dana bantuan pembenahan fisik di tiap RW, juga mendata keunggulan-keunggulan masing-masing wilayah.

”Kami bantu bangun sentra-sentra ekonomi, seperti misalnya wilayah Blooto, dan Prajurit Kulon itu kami jadikan sentra kampung sepatu dan alas kaki, juga minuman kesehatan karena daerah ini banyak pengrajin tapenya,” tambahnya.

Harap dicatat, sepatu-sepatu produksi Mojokerto saat ini banyak beredar di wilayah Jawa Timur, bahkan Indonesia Timur.

Ke depannya, Pemerintah Kota Mojokerto berharap pembangunan kampung akan terus berlangsung seiring dengan peningkatan perekonomian wilayah Mojokerto. Saat ini pendanaan masih mengandalkan dari APBD Kota Mojokerto. Namun, di masa yang akan datang sambung Mas’ud, tak tertutup kemungkinan pihaknya akan menggandeng pihak swasta melalui program CSR-nya.

Untuk saat ini, Program Bedah Kampung dan Pendanaan RW ini sudah mempunyai landasan hukum yang cukup jelas. Yakni, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 5 tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial dari APBD. Selain itu, ada juga Perda Kota Mojokerto No 14 tahun 2014 tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan. Masih ada lagi Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 67 tahun 2015 dan Nomor 68 tahun 2015. Saat tulisan ini dibuat, Walikota juga tengah menyusun sebuah peraturan mengenai mekanisme penggunaaan dan pelaporan penggunaan dana RW itu.

(AS)
  1. Penataan Kota
  2. Pemimpin Daerah
  3. Inovasi
KOMENTAR ANDA