MESIOTDA Media Interaksi Otonomi Daerah
  1. MESIOTDA
  2. BEST PRACTICE

Bandung miliki inovasi 'Omaba' wujudkan generasi sehat

Salah satunya adalah kelahiran sebuah layanan Ojek Makanan Balita (Omaba).

©2017 Merdeka.com Editor : Anton Sudibyo | Rabu, 01 Maret 2017 12:25

Merdeka.com, Mesiotda - Masyarakat Kota Bandung menangani masalah gizi buruk dengan inovasi ciptaan sendiri. Caranya, antara lain, dengan menggerakkan ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk memasak makanan sehat dan mengantarkan ke rumah Balita penyandang masalah gizi.

Resep pembangunan Bandung ada pada konsep segitiga membangun: innovation, decentralization, dan collaboration. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Ridwan Kamil, program pembangunan dan solusi suatu masalah di Kota Bandung tak hanya ditangani oleh birokrasi pemerintahan, tapi juga dengan melibatkan masyarakat dan swasta.

Kerjasama multipihak itu dilaksanakan dengan mekanisme yang telah ditetapkan, namun tetap memberikan ruang bagi munculnya inovasi dan partisipasi dari masyarakat. Ridwan Kamil juga selalu membuka ruang bagi pemanfaatan teknologi. “Selama ini orang hanya mengenal sebagai wali kota yang gila membangun taman, padahal banyak inovasi yang telah dibuat di Kota Bandung,” tuturnya dengan dialek Sunda yang kental.

Pendekatan yang digunakan Kang Emil ini nyatanya memang produktif. Banyak masalah yang bisa diselesaikan melalui inovasi-inovasi yang kelahirannya dirangsang oleh Pemkot itu. Salah satunya adalah kelahiran sebuah layanan Ojek Makanan Balita (Omaba).

Menurut Kang Emil, Omaba dilahirkan oleh ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gede Bage, Kota Bandung. Awalnya, Omaba terbentuk dari keprihatinan ibu-ibu PKK rukun warga (RW) 11 melihat adanya banyak kasus gizi buruk.

Tercatat, pada tahun 2012, ada 29 kasus gizi buruk dan 17 balita meninggal di Kecamatan Gede Bage. Ada pula 22 kasus balita gizi buruk dan 11 balita meninggal di Kelurahan Cisaranten Kidul. Kepala UPT Puskesmas Riung Bandung dr. Soni Sondari berkoordinasi dengan Lurah dan Ketua PKK RW 11, Heni Mustika Sari dan Vita Phinera Wijaya untuk menangani masalah gizi buruk ini. “Selain pendekatan oleh petugas Puskesmas, saya minta agar masyarakat membantu karena mereka yang paling dekat,” ujar dokter Soni.

Dokter yang berjilbab rapi ini menuturkan bagaimana dia terenyuh ketika menemukan banyak balita gizi buruk. Perempuan berjilbab itu semakin terenyuh karena balita itu rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya di Cisaranten Kidul. “Suatu hari, ada perempuan kurus datang ke Puskesmas dengan pakaian kumal dan lusuh sambil menggendong balita,” ungkapnya.

Setelah diperiksa, ternyata balita itu mengalami diare dan muntah-muntah. “Tubuhnya lemas, wajahnya kuyu, dan pucat,” katanya. Penasaran kenapa balita itu bisa sakit dan kekurangan gizi, Soni mendatangi rumahnya. Soni kaget ketika melihat rumah balita itu yang kecil tanpa ventilasi dan tidak ada celah untuk sinar matahari masuk. Lingkungannya pun kumuh dan sulit mendapatkan air bersih.

Dokter Soni pun bertanya mengenai makanan yang biasa dikonsumsi sang ibu dan anak balitanya. Ternyata, makanan mereka sehari-hari adalah nasi dan mie instan. Itu menu paling mewah di rumah itu. Jika tak ada uang, sang ibu hanya membeli kerupuk dan penyedap rasa.

Melihat kondisi itu, dokter Soni pun lantas memerintahkan seluruh petugas kesehatan di Puskesmas untuk turun ke lapangan. Mereka juga mengintensifkan kunjungan ke posyandu-posyandu di Kelurahan Cisaranten Kidul, Rancabolang, Rancanumpang, dan Cimencrang. Dokter Soni pun ikut turun mengontrol sejumlah Posyandu di Cisaranten Kidul. “Saya bina ibu PKK dan ibu rumah tangga untuk melakukan pola hidup sehat,“ terangnya seperti yang dia tulis dalam buku “Omaba Mengantar Kasih Para Ibu”.

Usaha itu memang bukan hal yang mudah dilaksanakan. Maklum, luas wilayah Cisaranten Kidul 426.711 hektare dengan jumlah penduduk 13.047 jiwa atau 3.887 kepala keluarga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 3.000 atau 30 persen penduduknya masuk kategori miskin.

Cisaranten Kidul merupakan wilayah urban yang berada di perbatasan antara Kabupaten dan Kota Bandung. Industri besar dan kecil tumbuh subur di kawasan ini. Sebagian penduduknya adalah pendatang yang mengadu nasib. Ada yang beruntung dan memperbaiki kesejahteraan. Tapi tak sedikit pula yang akhirnya malah harus hidup miskin di perkotaan.

Beruntung. Dokter Soni akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Berbarengan dengan saat tim medis turun, Ketua PKK, Vita, menggerakkan 10 orang anggota PKK, empat anggota majelis taklim, dan empat orang dari posyandu, untuk membantu usaha ini. Mereka bergandengan tangan mengatasi masalah gizi buruk yang menimpa lingkungannya.

Para ibu ini pun kemudian berinisiatif untuk memasak makanan sehat, tapi tetap sederhana dan dengan biaya produksi yang murah. Makanan inilah yang kemudian diantarkan kepada para balita yang menyandang masalah gizi.

Cara ini dianggap lebih tepat dibanding dengan program makanan tambahan (PMT) yang diberikan pemerintah. Pemerintah, melalui Puskesmas, biasanya memberikan susu formula dan biskuit sebagai makanan tambahan kepada para balita yang mengalami gizi buruk.

Namun, pada kenyataanya, sebagian orang tua yang anak menderita gizi buruk ini seringkali menjual susu dan biskuit bantuan itu. Dari uang penjualan itu, mereka kemudian membeli beras dan mie instan. Bahkan, Vita menemukan ada orang tua yang yang membeli rokok dengan duit penjualan susu dan biskuit PMT tadi. Pernah juga Puskesmas memberikan ayam mentah sebagai makanan untuk memperbaiki gizi, tapi lagi-lagi, ayamnya dijual hingga si balita tetap hanya makan nasi plus mie instan.

Vita melihat, wajar saja jika makanan PMT itu dijual. Maklum, bagi orang miskin, kebutuhan pokok jelas lebih penting. “Tak jarang mereka menjualnya setengah dari harga pasar,” ujarnya. Dari temuan itu, Vita menggerakan ibu-ibu PKK untuk memasak makanan sehat, bergizi, dan disukai balita.

Pada tahun 2013, mereka mendapatkan dana bantuan operasional kesehatan (BOK) dari puskesmas untuk menangani 22 balita gizi buruk. Mereka menyepakati adanya dapur keliling (darling) untuk memproduksi makanan untuk pemberian makanan tambahan (PMT) Pemulihan. Darling ini kemudian berubah menjadi cooking centre dan cikal bakal Omaba. PMT Pemulihan per balita sekitar Rp10.000 diberikan setiap hari selama tiga bulan. Setiap balita gizi buruk mendapatkan dua menu PMT sehari.

Untuk memastikan PMT itu tepat sasaran dan dimakan oleh balita, maka ibu-ibu mengantarkan langsung. “Kami tunggu sampai anaknya makan. Kalau perlu, kami yang menyuapi,” ungkapnya.

Pada masa awal itu, Vita harus merogoh kocek sendiri untuk bensin dan menggunakan motor pribadinya. “Kadang juga mengeluarkan uang untuk jajan ibu-ibu, seperti untuk membelikan air minum,”selorohnya. Vita juga merelakan dapur rumahnya dijadikan tempat berkumpul ibu-ibu dan memasak PMT.

Menu makanan yang diberikan kepada balita merupakan menu masakan rumahan dan tidak mengandung mononatrium glutamat (MSG). Agar hasilnya lebih mantap, ia dan para ibu sukarelawan tak sungkan datang ke Puskesmas Riung Bandung untuk berkonsultasi dengan ahli gizi.

Mereka meminta untuk diajari dan mengetahui komposisi makanan yang baik untuk balita gizi buruk. Standar kebersihan dapur dan bahan makanan juga benar-benar dijaga. “Sebagian bahan makanan itu diambil dari kebun-kebun yang dikelola masyarakat di sekitar kelurahan Cisaranten Kidul,” ujar Vita.

Kota Bandung memang sudah lama mengembangkan urban farming alias pertanian perkotaan untuk mengurangi ketergantungan pangan dari luar Bandung. Nah, dengan adanya Omaba, jenis tanaman yang dibudidayakan di urban farming pun disesuaikan dengan kebutuhan Omaba. “Untuk daging dan ayam tetap membeli di pasar,” kata Vita.

Melihat konsep dapur keliling ini bagus, Puskesmas pun akhirnya menggandeng Politeknik Kesehatan Gizi Bandung untuk melatih ibu-ibu sukarelawan tentang cara memilih bahan makanan, memasak, varian komposisi gizi dan menu untuk balita gizi buruk.

Bantuan pun akhirnya berdatangan. Bahkan, ibu-ibu ini kemudian dipoles oleh chef profesional dari salah satu hotel di Bandung untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam memasak.

Dari sentuhan para chef ini, ibu-ibu akhirnya mampu menciptakan banyak varian menu yang sehat dan murah. Menu itu, antara lain, nasi fantasi berisi sayur dan ayam; nasi ubi ungu; sushi gulung omelete telur; kanirol yang berisi kembang tahu, ayam, udang, dan sayuran; nugget tempe; sup bakso singkong; bakso ikan bakar yang berisi adonan kentang dan ikan tenggiri; nugget ikan patin; perkedel ikan daun kemangi; dan formula tempe. Menu kudapannya: puding ikan bandeng dan bihun panggang. “Menu ini membuat anak tidak jenuh dan bersemangat makan,” terang Vita.

Vita juga melengkapi menu makanan balita itu dengan buah-buahan, seperti pisang, jeruk, semangka, dan melon. Sesekali, mereka juga diberi susu. Hasilnya, dari 22 balita gizi buruk lima sembuh dalam 45 hari dan 17 harus mengikuti penuh selama tiga bulan.

Pada triwulan pertama tahun 2013, ada bantuan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah Bandung sebesar Rp16 juta. Kemudian, Heni Mustika Sari, sang ketua PKK, meminta dokter Soni dan Vita untuk mengajukan permohonan bantuan dana CSR ke PT Pertamina.

Iniasitif Heni ini karena wilayahnya dilewatin jalur pipa milik perusahaan minyak negara itu. Gayung pun bersambut. Kebetulan Pertamina juga memiliki program Sehat Ibu dan Anak Tercinta (Sehati). Pada tahun 2013, Pertamina pun memberikan bantuan Rp14,85 juta untuk makanan dan Rp1,8 juta untuk biaya pengantaran makanan.

Usaha yang dimotori dokter Soni, Heni, dan Vita ini ternyata benar-benar mendulang sukses. Pada tahun 2014 sudah tidak ada lagi balita dengan gizi buruk. Yang tersisa adalah kasus kurang gizi yang dialami 13 orang balita. Lantas Pada tahun 2015, ada 10 balita dan dua ibu hamil gizi kurang. Lantas, pada tahun 2016, ada 10 balita dan satu ibu hamil gizi kurang.

Karena problem gizi buruk sudah terselesaikan, program yang ada pun berubah nama menjadi PMT Penyuluhan, yang tujuannya lebih diarahkan pada upaya pencegahan terulangnya kasus gizi buruk. Pertamina masih tetap memberikan dukungan pendanaan untuk penyediaan makanan dan bantuan ongkos pengantaran. Besarannya: tiap anak mendapatkan bantuan Rp15.000 per hari. Bantuan diberikan selama 3 bulan. Lantas, pengantar juga diberi uang bensin Rp20.000 per hari. Pertamina juga memberikan satu unit motor yang dilengkapi box untuk mengantar makanan.

Lantas, pada tahun 2016, Pertamina membangunkan dapur atau cooking centre di Gedung Serba Guna RW 11 Kelurahan Cisaranten Kidul. Dapur itu dilengkapi perangkat memasak, oven, dan kulkas. Dapur ini diresmikan pada 6 September 2016 dan dihadiri oleh Ridwan Kamil.
Duplikasi

Di Kota Bandung, setiap inovasi yang baik dan bermanfaat akan diterapkan di wilayah lain. “Konsepnya, amati, tiru, dan modifikasi,”kata Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes), dokter Nina Manarosana. Inovasi sejenis Omaba kini juga dibangun di daerah Sukajadi tapi namanya Rumah Gizi.

Dinas Kesehatan sedang mempelajari kelemahan Omaba untuk diperbaiki. Salah satunya, program PMT kepada balita gizi buruk sering terputus ketika keluarga si balita pindah mendadak. “Penduduk di sana nomaden karena pekerjaannya serabutan,” ujarnya.

Dinkes sedang membuka kemungkinan pemberian telepon seluler berbasis android kepada orang tuanya. Mereka akan dilatih untuk menggunakannya, nanti bisa melaporkan keberadaannya menggunakan global positioning system (GPS). Pertamina juga sudah menyatakan minat untuk membantu dalam pengadaan perangkat ini. “Jadi program penyembuhannya terus berlanjut dan tuntas selama berada di Kota Bandung,” tuturnya.

Omaba ternyata bukan hanya diminati Dinkes Kota Bandung. Vita dan ibu-ibu PKK sudah sering diundang memberikan pelatihan di luar kota. Mereka pernah melatih memasak 150 orang pengurus Posyandu di Kabupaten Cianjur. Pernah pula mereka diminta mengisi seminar dan praktek memasak untuk PKK se-Kabupaten Purwakarta di Kantor Bupati.

Kabupaten Bandung secara khusus membawa PKK RW 11 Cisaranten Kidul ke enam wilayahnya untuk menceritakan kesuksesan menangani gizi buruk. Vita dan ibu-ibu PKK berharap diajak oleh Pemkot Bandung dan Kemenpan RB ke Belanda untuk mempresentasikan Omaba pada Juni nanti. “Saya persentasi soal cara memasak, gizi, varian menu, dan bagaimana mendapatkan pendanaan,“ ujar Vita.

Di tanah kelahiranya, Omaba sudah beranak dengan menelurkan ojek makanan sekolah (Omasa). Namun, ini bukan mengantar makanan. Mereka memberikan pelatihan membuat jajanan sehat kepada pedagang di SDN Cisaranten Kidul dan SMK 6 Bandung.

PKK mendatangkan chef dari asosiasi chef nasional untuk melatih membuat saus dan mie yang sehat. Sausnya diganti tomat yang diblender. Mie instan diganti mie buatan sendiri dan warnanya diperoleh dari sayuran. “Diajarkan juga cara melayani konsumen, seperti tidak merokok, menggunakan masker, dan celemek,” tambahnya.

Pemkot Bandung sendiri sedang merancang layanan kesehatan jemput bola bernama Layad Rawat. Layanan ini dokternya yang mendatangi pasiennya ke rumah. Warga Bandung baik sakit atau tidak akan dikunjungi dokter minimal satu tahun sekali.

Sebelum dokter turun, ada tim gerakan masyarakat promosi kesehatan komprehensif (Germas) yang datang door to door. Layad Rawat akan dilengkapi ambulance beserta obat-obatan dan peralatan medisnya.

Layad Rawat ini terinspirasi dari adanya dua warga Bandung yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan maksimal di rumah sakit. “Kamarnya penuh. Maklum rumah sakit di Kota Bandung diserbu oleh masyarakat seluruh Jawa Barat,” terang Kang Emil.

Untuk mengawal semua inovasi yang telah lahir, Kang Emil akan melindunginya dengan peraturan daerah (Perda). Namun, ia tak spesifik menyebut apakah Omaba, Omasa, dan Layad Rawat sudah ada perdanya atau belum. “Yang pasti, saya akan memberikan buku 1.000 cara menghadapi masalah dan solusinya kepada wali kota penerus saya,” pungkasnya.

(AS)
  1. Inspirasi
  2. Inovasi
KOMENTAR ANDA