MESIOTDA Media Interaksi Otonomi Daerah
  1. MESIOTDA
  2. BEST PRACTICE

Pengelolaan sampah di Kabupaten Pati jadi sumber kesejahteraan warga

“Sampah memang berbahaya jika tak ditangani dengan baik. Tapi dengan penanganan yang baik, sampah justru bisa dijadikan sahabat,”

Bank sampah Kencana yang ada di Kabupaten Pati, Jawa tengah.. ©2017 Merdeka.com Editor : Anton Sudibyo | Kamis, 16 Maret 2017 11:29

Merdeka.com, Mesiotda - Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menerapkan pengelolaan sampah sejak dari sumbernya dengan menggunakan pendekatan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Sampah pun kini berubah menjadi sumber penghasilan. Bahkan, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bisa dijadikan kawasan wisata dan edukasi bagi masyarakat.

Di Kabupaten Pati, sampah kini bukan lagi musuh bagi masyarakat. Pemerintah Kabupaten Pati berhasil mengubah stigma itu melalui berbagai cara seperti, sosialisasi, pelatihan, dan sistem pengelolaan sampah terpadu. Hasilnya, masyarakat jadi tahu bahaya dan juga manfaat dari sampah.

“Sampah memang berbahaya jika tak ditangani dengan baik. Tapi dengan penanganan yang baik, sampah justru bisa dijadikan sahabat,” kata Bupati Pati, Haryanto. Karena itu, dia pun tak henti mendorong agar sampah dapat dimanfaatkan dengan baik. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan mengadakan pelatihan untuk membuat pupuk kompos, briket, dan kerajinan tangan dari sampah.

Dengan pelatihan-pelatihan ini, masyarakat jadi tahu bahwa sampah bisa memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Bupati Haryanto, juga menekankan tentang pentingnya pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan dimulai dari rumah tangga, lingkungan, dan sekolah-sekolah.

Pemkab dan masyarakat berkolaborasi membuat tempat pembuangan sampah yang sebenarnya yakni tempat pengolahan sampah (TPS) dan bank sampah. Pemkab memberikan penyuluhan dan sarana serta prasana sebagai stimulus untuk masyarakat. Sedangkan, pengelolaan dan pemanfaatan sampah yang masih bisa didaur ulang diserahkan kepada masyarakat. “Alhamdulillah, masyarakat sudah menikmati, merasakan, dan menjalankan perubahan ini secara perlahan-lahan,” terangnya.

Dalam pengelolaan sampah, Pemkab Pati tak hanya menyediakan area TPS dan bank sampah. Alat-alat pendukung, seperti mesin pembuat kompos, pencacah plastik, gerobak, dan kendaraan roda tiga untuk mengangkut sampah juga diberikan. Pemkab juga menekankan kepada masyarakat agar sampah dipisahkan berdasarkan jenisnya sejak dari rumah. Cara itu akan memudahkan pengelola TPS dan bank sampah dalam mengolah sampah lebih lanjut. Sampah basah seperti sisa makanan, misalnya dikumpulkan dalam sebuah wadah agar dapat dimanfaatkan oleh para peternak ayam dan bebek.

Sampah organik seperti potongan sayur juga dipisah untuk kemudian diolah menjadi kompos dan briket. Sedangkan sampah jenis kardus dan plastik bekas air mineral dijual kembali ke pengepul barang bekas.

Haryanto menegaskan, Pemkab Pati tak hanya sibuk mengeluarkan perintah dan anjuran. “Pemkab juga menjadi pembeli utama kompos. Pemkab berani membeli kompos di atas harga pasar,” tandasnya. Jika dijual ke masyarakat, harga kompos hanya Rp1.000 per kilogram, tapi jika dijual ke Pemkab, harganya Rp1.900 per kilogram.

Untuk menghindari penumpukan, masing-masing TPS dan bank sampah didorong untuk bekerja sama dengan pengepul sehingga sampah yang bermanfaat dapat dijual kembali. Plastik bekas kemasan air mineral punya nilai jual paling tinggi. Untuk kemasan berbentuk gelas dihargai Rp7.000 per kilogram dan kemasan botol dihargai Rp.500 per botol.

Hasil penjualan itu menjadi keuntungan untuk pengelola. Selain itu, pengelola berhak mengutip iuran dari warga. Besarnya iuran ini tergantung pada kesepakatan dan kemampuan ekonomi warganya.

Sampai tahun ini, Pemkab Pati telah membangun 9 TPS terpadu dan 5 bank sampah. TPS ini berkonsep reduce, reuse, dan recycle (3R). Reduce atau pengurangan diperoleh dari berbagai pengolahan sampah. Beberapa jenis sampah, seperti plastik kemasan kopi dan permen, digunakan kembali untuk bahan dasar produk kerajinan tangan. Sedangkan, daur ulang dilakukan melalui penjualan sampah ke pabrik.

TPS 3R ini cukup luas, rata-rata berukuran 10 x 10 meter di setiap desa. TPS 3R ini pun memiliki tempat pembibitan tanaman dengan pupuk kompos produk sendiri. Pupuk kompos juga dimanfaatkan untuk penghijauan lingkungan sekitarnya. Tanaman yang ditanam berjenis obat-obatan dan hias. Jadi, masyarakat tidak perlu membeli dan dapat memanfaatkan untuk pengobatan tradisional.

Untuk melanggengkan program pengelolaan sampah ini, Pemkab Pati telah menerbitkan Perda Nomor 7 Tahun 2010. Perda ini menekankan agar setiap orang atau lembaga mau mengurangi produksi sampah, dan mengatur pentatalaksanaan sampah yang ada melalui kelembagaan yang dibentuk, termasuk sejumlah TPS 3R tadi.

Pengelola TPS 3R Kembang Joyo di Kelurahan Kalidoro, Supriyadi, mengaku bahwa saat ini pemahaman dan kemampuannya dalam pemanfaatan sampah berubah drastis. Dulu, ia hanya mengambil dan mengumpulkan di satu tempat untuk diambil truk-truk sampah milik Pemkab. Kini, ia memilah dan mengolah beberapa sampah menjadi barang yang bisa dijual.

TPS ini menangani dua wilayah rukun warga. Setiap bulan, TPS ini menghasilkan 5-8 kuintal kompos yang dia kemas rapi dalam karung-karung yang mudah dibawa oleh pembelinya. Dia mengaku, saat ini penghasilannya tiap bulan minimal mencapai Rp3,5 juta. Dia malah berharap agar “wilayah kerjanya” diperluas agar rezekinya bertambah besar.

Supriyadi kini bahkan sudah bisa mengangsur kendaraan bak terbuka untuk mengangkut sampah dan mengirim kardus dan plastik kepada pedagang pengepul. Pola pengelolaan dan pemanfaatan sampah disetiap TPS sebenarnya nyaris sama, tapi kadang ada yang berinovasi.

Seperti di TPS Seroja di Perumahan Bumi Kutoharjo Permai, yang mengembangkan pembuatan pupuk cair dan mengelola ikan. “Kami berusaha kreatif agar produktif menghasilkan sesuatu yang baru,” kata Ketua Masyarakat Peduli Lingkungan Seroja, Eko Iswantini yang juga merupakan pengelola TPS Seroja ini.

TPS ini membuat pupuk cair dari campuran sampah pelepah pisang, tempe, nanas, dan bawang merah. Kemudian ditambahkan sedikit gula putih, garam, air, dan zat effective mikroorganisme (EM4). Setelah didiamkan selama 24 jam, nanti pupuk cair ini sudah dapat digunakan. “Belum kami jual, tapi kami bagikan kepada warga untuk disiramkan ke tanaman di halaman rumah masing-masing,” katanya.

Setiap bulan, TPS ini menghasilkan satu ton kompos. Uang hasil penjualan digunakan untuk kegiatan rutin warga. Kegiatan itu, diantaranya, membiayai kolam ikan emas lele, dan gurami. Warga boleh mengambil ikan secara gratis dari kolam milik bersama ini.

Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pati, Tuty Indarningsih, pembangunan TPS dan bank sampah di suatu wilayah harus atas usulan warga. “DLH hanya memfasilitasi dan melakukan verifikasi apakah wilayah itu sudah layak atau tidak,” ujarnya.

Sebelum mengusulkan pendirian TPS, masyarakat juga diminta membentuk organisasi dan berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka juga harus menyiapkan lahan karena Pemkab tidak punya dana untuk pembebasan lahan. “Biasanya, kami bangun di tanah fasilitas umum atau hibah,” katanya.

Jika dinyatakan layak, DLH akan memberikan pendampingan operasional pada masa awal. Pemkab akan memberikan semua peralatan untuk keberlangsungan TPS dan bank sampah. Biaya pembangunan satu TPS menelan anggaran sekitar Rp125 juta dan bank sampah sekitar Rp150 juta.

Tahun ini, Pemkab Pati akan membangun dua TPS dan dua bank sampah. Meskipun belum menghitung secara pasti, Tuty yakin keberadaan TPS dan bank sampah mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

(AS)
  1. Pengelolaan Sampah
KOMENTAR ANDA